Dilema ASN Pada Kontestasi Politik Daerah
Menjelang tahun 2024 daerah diseluruh Indonesia disibukkan dengan Pemilihan Umum secara serentak yaitu pemilihan DPR, DPRD, DPD serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menjadi kompas dalam menentukan arah pelaksanaan pemilu serentak ini, menjadi regulasi pengatur untuk mensukseskan terselenggarannya pemilu secara Jujur dan Adil. Termasuk didalamnya mengatur tentang larangan bagi peserta pemilu (Partai Politik dan Calon Perseorangan) dalam setiap kegiatan politik yang dijalankan. Tidak berhenti sampai disitu, UU Nomor 7 Tahun 2017 juga mengatur tentang pihak-pihak yang dilarang terlibat aktif dalam kegiatan politik daerah, seperti Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI/Polri Kades dan Perangkat Desa serta profesi lain yang dilarang oleh Undang-Undang. Netralitas ASN merupakan salah satu aspek yang penting untuk disoroti baik saat pemilu maupun pilkada. Sebab pelanggaran asas netralitas ASN dalam Pemilu kerap menjadi problem yang berulang dan menjadi fenomena yang berpengaruh signifikan terhadap menurunnya kualitas Pemilu yang demokratis. ASN sendiri merupakan profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Sebagai profesi ASN memiliki prinsip dasar yang harus di patuhi (Pasal 3 UU Nomor 5 tahun 2014), memiliki fungsi, tugas dan peran (Pasal 10 UU Nomor 5 tahun 2014), serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dijalankan (Pasal 21 UU Nomor 5 tahun 2014).
Muhammad Saleh, M.Pd |
Belakang ini fenomena politik daerah cenderung diwarnai dengan keterlibatan ASN dalam mendukung salah satu kontestan di pemilu 2024. Dukungan tersebut dilakukan secara tertutup maupun terbuka, dengan menunjukan keberpihak pada salah satu calon/pasangan calon. Menghadiri kegiatan sosialisasi atau deklarasi calon/ pasangan calon secara terang-terangan di dunia nyata maupun dunia maya, baik me-like/menshare postingan bermuatan ajakan mendukung manakala hal tersebut berselancar di dunia maya (Medsos). Sekarang ini media sosial menjadi wadah yang banyak di gandrungi oleh calon/ pasangan calon untuk bersosialisasi memperkenalkan diri kepada khayalak umum, tidak jarang ASN ikut nimbrung disana. Secara personal ASN mempunyai hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya dalam memberikan Hak Pilih, tetapi tidak dalam memberikan dukungan atau menunjukan keberpihakan. ASN memiliki batasan yang harus dicermati ketika terlibat dalam kontestasi politik. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan batasan bagi ASN dalam berpolitik, paling tidak pada pasal 2 huruf (f) dan pasal 9 (ayat 2). Disamping UU Nomor 5 tahun 2014, regulasi lain yang mangatur tentang batasan ASN berada pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 tahun 2004. Dalam kontestasi politik ASN dilarang membuat postingan, Comment, share, like, bergabung/Follow dalam group akun pemenangan calo/bakal pasangan calon demi untuk menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Termasuk tindakan-tindakan politik lainnya yang dilarang oleh Undang-Undang (UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 5 Tahun 2014) maupun PP Nomor 42 tahun 2004.
Pertanyaannya, apa dampak atau sanksi yang akan diterima oleh ASN bilamana melanggar larangan dalam aturan tersebut, atau terlibat dalam mendukung salah satu calon/bakan pasangan calon ?. Menjawab pertanyaan tersebut tentun akan dilihat pada jenis dan model pelanggaran yang dilakukan oleh ASN itu sendiri. Jika pelanggaran berupa pelanggaran Kode Etik ASN maka sanksi yang dikenakan berupa sanksi moral (Penyataan secara tertutup atau terbuka), Hukuman Disiplin Sedang serta Hukuman Disiplin Berat atau bahkan Diberhetikan Tidak Dengan Hormat. ASN diberhentikan secara tidak terhormat bila menjadi pengurus/anggota partai politik. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam PP Nomor 42 tahun 2004. Keadaan ini akan berlaku disemua tahapan pemilu, bukan pada tahapan tertentu (Kampanye dan Pungut Hitung) sebaimana yang dipahami selama ini. Ada anggapan bahwa ASN boleh memberi dukungan terhadap salah satu bakal calon/bakal pasangan calon sebelum memasuki tahapan Pemilu 2024, seolah tahapan pemilu hanya pada Kampanye dan Pemungutan dan Penghitungan Suara saja. Padahal regulasi mengatur tahapan pemilu 2024 sudah dimulai saat Perumusan Peraturan Pemilu itu sendiri yang berlangsung pada 14 Juni 2022 dan berakhir pada Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Putar-II ditanggal 20 Juli 2024. (Baca: Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022).
Keterlibatan ASN pada kontestasi politik daerah dalam mendukung salah satu bakal calon/bakal pasangan calon tidak hanya berdampak pada ASN itu sendiri melainkan juga akan berdampak pada calon yang didukung, khususnya pada tahap kampanye. Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pasal 280;
“Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Aparatur Sipil Negara”, jika terbukti maka akan dikenakan sanksi pidana pemilu “Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Oleh karena demikian hendaknya ASN dapat menahan diri untuk tidak ikut berpolitik atau terlibat dalam mendukung bakal calon/bakal pasangan calon tertentu.
Menurut penulis setidaknya ada beberapa dampak yang akan timbul bila ASN melibatkan diri dalam kegiatan politik atau mendukung salah satu bakal calon/bakal pasangan calon, antara lain: Pertama, Kepentingan Masyarakat Terdistorsi. Kedua, Pelayanan Tidak Optimal, Ketiga, Jabatan di Birokrasi tidak lagi diisi oleh ASN yang berkompetensi. Profesionalitas dan idealitas dalam sistem pelayanan Publik. Kanyataan ini tidak dapat terhindarkan dan terjadi tanpa disadari. Dikutip dalam (Ambo Radde Junaid dkk:2021) latar belakang terlibatnya ASN dalam kegiatan politik atau mendukung calon/pasangan calon, antara lain: Pertama, Ambiguitas Peraturan. Sesuai dengan pasal 2 huruf (f) UU ASN mengatur bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada asas netralitas. Penjelasan pasal tersebut menguraikan bahwa asas netralitas adalah setiap aparatur tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Disisi lain Pasal 1 angka 2 UU ASN selain pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja tetap mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum maupun Pilkada. Ambiguitas peraturan inilah yang juga membuat beberapa ASN kadang-kadang terlibat atau dilibatkan dalam kegiatan politik maupun mendukung calon/pasangan calon.
Kedua, Lemahnya Penegakan Hukum. Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat) dan bukan negara kekuasaan (maachsstaat). Negara hukum bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kehidupan masyarakat bangsa dan menjadikan satu-satunya alat untuk menyelesaikan segala permasalahan. Kenyataan di lapangan ASN yang tidak netral tidak diberikan sanksi tegas sehingga tidak ada efek jera atas perbuatan yang dilakukan. Kurang tegasnya sanksi yang seringkali menjadi faktor penghambat ASN untuk bersikap netral pada saat pemilu atau pilkada dilakukan. Meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur Netralitas Pegawai Negeri sipil telah ditetapkan, akan tetapi keterlibatan ASN dalam kegiatan politik atau dukung mendukung masih tetap tampak.
Ketiga, Kerjasama yang saling menguntungkan. Hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara atasan dan bawahan biasa disebut sebagai patron-client. Dalam hubungan tersebut terdapat seorang patron atau penguasa yang kuat dan mampu mengintervensi bawahannya, terutama calon yang pernah menjabat dan kembali mencalonkan diri alias petahana (Incumbent). Budaya patron-client juga menjadi penyebab atas keberpihakan ASN dalam Pemilu maupun Pilkada. Patron dan Client berjalan bersamaan karena memiliki hubungan yang terikat atas kepentingan yang sama. Keempat, Hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan terbentuk atas dasar keturunan secara biologis, pada konteks budaya terdapat hubungan sosial yang terbina dikarenakan berada dalam ruang lingkup yang erat. Hubungan kekerabatan yang erat akan berdampak pada keinginan ASN tersebut untuk mendukung atau berpihak kepada salah satu pasangan calon tertentu. Hubungan kekeluargaan antara ASN dengan calon tentu sangat memengaruhi netralitas. Hal ini sangat berpengaruh dalam penentuan sikap politik ASN. Jika ASN mempunyai saudara yang terlibat dalam pencalonan, tentunya mereka tidak akan membiarkan sudaranya berjuang sendiri dalam mencapai cita-citanya untuk terpilih menjadi Anggota DPR, DPRD, DPD maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Kelima, Intervensi Elit Politik. Berkaitan dengan janji jabatan atau kepentingan lain dalam lingkungan birokrasi yaitu semakin kental dengan berbagai aspek politis terutama dilakukannya saat Pemilu atau Pilkada berlangsung. Sistem pemilihan langsung ini sangat rentan membuat ASN sebagai kekuatan politik untuk mendapatkan dukungan. Kepala daerah bisa saja memobilisasi ASN untuk mendukung salah satu calon/pasangan calon yang mereka inginkan. Sisi lain ASN tidak berani melaporkan atasan mereka atas mobilisasi yang dilakukan. Penulis berharap pemilu 2024 menjadi pemilu yang jujur dan adil, tanpa intervensi pihak manapun. Serta bersih atas keterlibatan ASN maupun pihak-pihak yang dilarang terlibat.
Tidak ada komentar