Psikologi Sosial dan Diskursus Bima RAMAH - Kabar Bima - Portal Berita Bima Terbaru

Header Ads

Psikologi Sosial dan Diskursus Bima RAMAH


(Mengurai Transaksi Politik Bima Ramah dari Perspektif Aktivisme)

Oleh: Satria Madisa

Visi Bima religius, Aman, Makmur dan Handal (Ramah) visi IDP-Dahlan membangun bima. Visi yang secara politik telah mampu merebut mandat masyarakat bima dalam Pilkada serentak 2015. Setelah dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Visi Ramah dijadikan fokus pembangunan Bima. Dengan menerjemahkan visi ramah dalam lima misi membangun Bima. Spirit ramah kemudian diterjemahkan dalam semua sektor pembangunan daerah yang secara umum dilihat dari pembangunan manusia dan pembangunan infrastruktur.

Di sini ramah mendapatkan format baru. Pertama manakala ditafsirkan secara terpisah (Religius, Aman, Mandiri, dan Handal). Kedua manakala ditafsirkan secara utuh, ramah berarti kelembutan. Masalahnya terletak pada "diskursus" dalam menentukan indikator untuk menguji efektifitas ramah dalam epicentrum pembangunan bima. Dan ada baiknya kita untuk memahami iklim yang mendukung pembangunan yang sudah terakomodasi di visi kedua yakni aman. Sudah amankah bima? dan disinilah aspek Religius merupakan norma dasar sebagai intisari dan pemberi legitimasi aman.

Stabilitas daerah (keamanan) merupakan hal integral dalam pembangunan sebuah daearah. kepastian akan keamanan akan mendorong kepastian dalam hal pembangunan, investasi, dan stokeholder pembangunan daerah. Disinilah Pemerintah Daerah (Bupati dan DPRD) mengurai dan meresolusi problem pembangunan Daerah. Serta membangun harmonisasi dengan masyarakat. 
Penetapan Delapan Kabupaten di NTB sebagai Daerah terbelakang merupakan mimpi buruk sekaligus pekerjaan rumah dalam memastikan arah pembangunan daerah. Hanya Kota Mataram dan Kota Bima yang memenuhi standar nasional tingkat pendidikan, kesehatan dan ekonomi standar nasional. Sehingga Pemerintah Daerah (Pake Huruf Kapital) bukan hanya Bupati dan Wakil Bupati, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional mendobrak daerah terbelakang tersebut.

Penetapan Kab. Bima sebagai daerah terbelakang, manakala kita relevansikan dengan visi dan kontekstualisasi Ramah sekiranya cocok dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Disini visi ramah mendapatkan format baru, bukan hanya sebagai visi tapi juga pemantik dan "laboratorium refleksi" Pemda dan masyrakat untuk bersinergi membangun bima. Seperti visi ramah yang diterjemahkam dalam lima misi seperti yang dikutip dari Nota LKPJ Bupati Bima 2017 dibawah ini:

Pada pelaksanaan kinerja pemerintah daerah tahun kedua ini, sasaran kinerja pemerintah daerah sepenuhnya berfokus untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan dalam RPJMD Kabupaten Bima Tahun 2016-2021, Visi Pemerintah Kabupaten Bima adalah “Terwujudnya Kabupaten Bima yang Ramah, yaitu Religius, Aman, Makmur, Amanah dan Handal". Visi pembangunan Kabupaten Bima tersebut diwujudkan melalui 5 (lima) Misi pembangunan, yaitu:

1. Meningkatkan masyarakat yang berkualitas melalui penerapan nilai-nilai religius dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
2. Mewujudkan masyarakat yang aman tertib dan nyaman dengan mengedepankan penegakan supermasi hukum.
3. Meningkatkan kemajuan dan kemandirian ekonomi masyarakat, dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan pengangguran didukung tersedianya sarana dan prasarana berbasis tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.
4. Meningkatkan kemampuan, kejujuran aparatur pemerintah dengan mengedepankan rasa tanggungjawab melalui tata kelola pemerintahan yang baik.
5. Membangun masyarakat yang maju, mandiri, dan berdaya saing.
Lima misi yang secara normatif mengakomodasi kepentingan bima terhadap ikhtiar kolektif membangun bima. Yang tentu kita harus sadari sangat kompleks dan bukan hanya tanggung jawab Pemda tapi juga masyarakat.

Penetapan sebagai daerah terbelakang tentu karna didasari bahwa IPM masih sangat rendah, Daya beli masyarakat  yang masih labil, kualitas manusia dan masalah integritas Pejabat dilingkup pemda. Supremasi hukum masih sangat langka, premanisme pejabat Pemda, disintegritas sosial yang semuanya harus kita refleksikan bersama dalam membangun dan bertanggung jawab terhadap masa depan bima ramah. Saya optimis manakala visi ramah diaktualkan secara optimal, SDM digunakan sebagaimana tupoksi dan SDA dikelola secara efektif dan terarah Bima bisa menjadi daerah yang bukan hanya maju tapi ramah masyrakatnya. Masalah internal yang menghambat konsilidasi membangun bima bisa dilihat dari realitas bima dalam dua tahun IDP-Dahlan, baca: Menguji Reputasi Bima Ranah, Dua Tahun IDP-Dahlan.

Bima ramah saya lihat "ATM berjalan, pengatur transaksi kepala masyrakat, yang bisa dilihat dari faktor kuasa (Pejabat korup) dan civil societi yang lahir karna aktivis berbayar". Meminjam Ungkpan Prof. Rocki Gerung Pengamat politik, dengan sedikit modifikasi, Transaksi kepala dalam format "Bhineka Tungga Ika" walaupun berbeda tapi satu tujuan. Sekirannya lumrah ditengah kondisi daerah yang miskin integritas. Pejabat butuh makan aktivis juga. Dan tentu saya tidak berani mengumumkan persoalan yang khusus. Ini hanyalah oknum-oknum.

Sebagai pengatur transaksi kepala masyarakat Visi RAMAH terus menerus mendapatkan panggung. Lebih lebih di sosial media. Hanya satu persoalan subtansial yang dapat kita petik bahwa baik oknum pejabat maupun aktivis sama-sama melabelkan kepentingan masyarakat bima. Mungkin disinilah peran civil societi dalam menemukan dan mempertegas visi ramah.

Ada banyak literatur transaksi teks ramah di sosial media. Bahkan tidak jarang mencari "formulasi" label baru dalam tataran praktis. Ini prestasi bahwa diskursus ramah mampu menghipnotis masyarakat bima lebih khusus sosial media. Sebut saja contoh "Bupati melakukan aksi cepat penanganan korban banjir" publik sosmed menjustifikasi "Bupati ramah". Begitupun dalam fakta sosial yang di anggap tabu, semacam mayat pulang ojek, anak bunuh bapak dan semacamny, publik sosial media menjustifikasi bima tidak ramah. Bahkan tidak jarang Bupati yang selalu disalahkan. Hal semacam ini bukti keberterimaan dan atau penolakan publik sosmed terhadap visi ramah.

Baiknya, kita perlu melakukan telaah kritis terhadap problem daerah. Apakah perlu kita rumuskan secara bersama bahwa siapa yang harus bertanggung jawab terhadap sederet problem daerah?. Dan Bupati/wakil merupakan satu-satunya otoritas yang bertanggung jawab?. Pemerintah Daerah bukan hanya bupati tapi juga meliputi DPRD. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bupati adalah eksekutif  yang menjalankan (eksekutor) dalam hal pembangunan anggaran yang ditetapkan oleh DPRD.

Kabupaten Bima merupakan Daerah yang kaya akan potensi sumber daya alam yang meliputi kekayaan laut, perikanan, rumput laut, pertanian, pariwisata, budaya dan sejarah serta penyumbang aktivis mempuni di Bima  maupun yang tersebar di nusantara.  Sederet SDM yang mempuni dari latar belakang S1 bahkan Profesor yang tersebar dipenjuru negeri. Manakala SDM itu terkoneksi dengan potensi SDA maka, Kabupaten Bima bisa menjadi "Miniatur NTB" dan Indonesia. Pemerintah Daerah harus menyiapkan ruang dialogis dengan akademisi, pemuda, mahasiswa, dan masyarakat dalam merumuskan konsepsi pembangunan daerah. Tentu dengan memulai dengan upaya pembangunan kualitas manusia. Pemda harus mendorong jebolan-jebolan Strata 1 untuk melanjutkan pendidikan Strata 2 bahkan sampai Doktor yang memang dibiayai oleh daerah. Tentu jebolan yang bisa diandalkan, berprestasi, dan punya komitmen membangun daerah. Karna saya kira ini yang belum dilakukan oleh Pemda dalam memperbaiki kualitas manusia dan memperbaiki kualitas masyarakat.

Disamping itu Visi ramah sekiranya menjadi "nalar refleksi" dengan ikhtiar kolektif dalam membangun daerah. Visi ramah harus menjadi, "by desain" kontruksi pembangunan bima secara konsisten dan berkelanjutan.

Masalah Psikologis sosial

Diskursus  Bima Ramah telah menjadi proyeksi dan pengatur transaksi  perdagangan kepala masyarakat. Baik yang datang dari pejabat korup maupun aktivisme yang bermental lembaran rupiah. Dan Diskursus ini semacam ini merupakan "armada hantu" yang tentu mengharapkan Bupati sebagai pemimpin armada tersebut.
Setelah 
Sherif dalam bukunya “At Outline of Sosial Phiscologi” mendefinisikan ilmu psikologi sebagai ilmu yang mempelajari pengalaman dan perilaku masyarakat dengan situasi rangsangan sosial. Ini didasari bahwa respon masyarakat dalam kehidupan sosialnya pasti melahirkan sikap yang emosional. Disini psikologi respon menjadi poin integral. Dalam keterkaitannya dengan pembangunan Daerah, maka setiap regulasi dan kebijakan daerah pasti mendapatkan respon. Respon positif maupun negatif. Tugas moral bagi pemimpin adalah bagaimana merumuskan pembangunan dengan semua masalahnya mendapatkan respon, bukan hanya sekedar menerima atau menolak tapi juga menginspirasi dan disambut dengan inovasi dari masyarakat. Watak atau karakter masyarakat memainkan peran yang sentral dalam perumusan pembanguan daerah. Lalu bagaimanakah watak atau karakter masyarakat Bima?.

Dalam Buku "TGB Ikhtiar Tiada Henti" seperti yang dikutip dari pakar manajemen bisnis (saya lupa namanya) membagi folowers menjadi lima karakter. Diantaranya masyarakat tipe domba (miskin inisiatif), masyarakat berhembusnya arah angin, masyarakat yang cerdas dan punya konsep tapi mengasingkan diri dari realitas sosial dan masyarakat afektif. Masyarakat bima masuk kategori masyarakat apa?. 
Mari kita lihat dan saksikan secara bersama.

Konsepsi masyarakat yang mendukung pembangunan daerah yakni masyarakat efektif. Tugas moral bagi Pemda bagaimana merebut optimisme masyarakat untuk terlibat aktif mendukung dan menentukan arah pembangunan. Tentu tidak bermaksud "menghakimi" pemda bahwasannya tugas itu otoritas mutlak. Disini sekiranya kesadaran kolektif masyarakat di uji kualitasnya. Dari sederet persoalan "disintegritas" daerah bukan sepenuhnya salah pemda. Keterlibatan civil society seperti aktivis mahasiswa dan pemuda turut menyediakan akses bagi keberlanjutan disintegritas dan disharmonisnya daerah. Anggap saja problem Blokir jalan yang akhir-akhir ini cukup marak terjadi, masyarakat awalnya tidak mengerti dan memahami tanpa adanya dukungan dan konsepsi dari civil society. Begitupun dengan konflik komunal yang juga marak, yang saya duga melibatkan oknum aktivis mahasiswa dan pemuda bahkan elit-elit politik tertentu dengan tujuan tertentu. Bahkan terdengar aneh keberadaan disintegritas jadi proyeksi politik demi tujuan proyek dalam tanda kutip.

Keberadaan civil society sangat menentukan keberlangsungan arah pembangunan. Sebagai pelopor gerakan penyadaran masyarakat untuk efektif terlibat dalam pembangunan. Dengan sederet angka-angka aktivisme bukan hanya bermodal "teriak saja" terhadap klaim masyrakat yang selalu mereka angkat. Jauh dari itu keberadaan aktivisme bisa menjadi social movemen transformasi karakter masyarakat.

Saya optimis manakala masyrakat bima efektif (tugas bersama) masyrakat bima tidak lagi disibukan dengan konflik dan semacamnya. Karna didasari atau tidak problem penghambat pembangunan daerah itu karna fakta masyrakat yang selalu marah-marah dan tidak ada kegiatan tetap. Visi ramah harus menjadi cerminan dengan "nalar yang hidup" karna persolan keamanan daerah akan mendorong kepastian dan kepastian membuka ruang upaya membangun bima.

Bima sangat kaya akan konstruksi filosofi masyarakat. Jauh sebelum hadirnya visi ramah konstruksi filosofi, sosiologis dan yuridis (islam) masyarakat bima bukan hanya konsumsi  masyarakat bima. Tapi juga melalang buana sampai ke pelosok daerah. 
Konstruksi filosofi "Maja labo dahu",  "Toho ra ndai sura dou labo dana", "Nggusu waru" yang merupakan jejak historis kultural yang relevan dengan keadaan zaman. Begitupun dengan kekayaan bahasa semacam "lembo ade"  yang sarat dengan kelembutan berbahasa yang kaya makna. Psikologi sosial masyarakat bima tempo dulu selain memiliki makna yang sangat luas untuk kehidupan bermasyarakat, juga karakter yang efektif mendorong dan mendukung pembangunan daerah. Filosofi semacam ini yang mulai redup dari "nalar kolektif" kita semua. Al hasil masalah sepele memicu konflik, disintegritas, ruang untuk ter-provokasi semakin melebar dan ketidakamanan jadi batu sandungan. Kondisi tidak aman tentu tidak bisa berbuah kepastian?.

Pekerjaan rumah kita bersama, adalah bagaimana menciptakan kondisi sosial yang harmonis dan kondusif. Dan Pemda sekiranya harus mendeklarasikan "perang terbuka" terhadap segala macam hal yang membuka akses disintegritas daerah. Langkah pencerdasan masyarakat sebelum langkah mempertegas pembangunan daerah sebuah keharusan. Disini peran aktivisme juga sangat dibutuhkan "bukan sekedar demo saja" tapi memberikan pendidikan yang baik dihadapan publik.

Musuh utama transformasi sosial (pembangunan) adalah kultur masyarakat. Dan kultur masyarakat bima sekarang sudah banyak yang melenceng dari konstruksi filosofis. Seperti "maja labo dahu". Penulis optimis manakala dilakukan secara kolektif "revitalisasi filosofi" maka harmonisasi kehidupan bermasyarakat akan kita jemput. Disini kontekstualisasi teks filosofi harus dihidupkan dan menjadi mainstrem bersama. Dan keniscayaan kiranya ini menjadi pilihan yang dialogis ditengah lunturnya identitas filosofis daerah.

Kesulitan yang kontras kiranya bagaimana mengaktualkan filosofi daerah yang outputnya menciptkan kondisi psikologis sosial yang harmonis dan humanis. Tanpa kondisi ini mempertegas pembangunan semacam absurd. Masyrakat diciptkan kondisi ramah untuk mendukung arah pembangunan dan menciptakan kepastian. Jangan sampai bima ramah dikemudikan oleh para preman, yang sengaja mendesain ketidakramahan bima. Bima ramah itu manakala masyarakatnya efektif. Tentu Pemda harus menyibukan masyrakatnya dengan kegiatan-kegiatan yang positif serta rutin untuk berdialog lintas kecematan untuk memberikan pencerdasan terhadap masyrakat. Tiga tahun tersisa cukup untuk mengevaluasi hambatan-hambatan dan tantangan untuk menjemput peluang pembangunan daerah. Bima ramah Bima Berbenah. Dan ini perlu ikhtiar kolektif dari semua komponen dari semua lapisan masyarakat.

Pembangunan daerah dengan spirit ramah tidak boleh berhenti pada tembok-tembok semata. Pembangunan psikologi sosial masyrakat (efektif) harus dipandang sebagai pilihan rasional dalam nalar pembangunan daerah (Manusia) sebagai medium untuk konsepsi-aplikatif terarahnya pembangunan. Pemerintah daerah bukan hanya menyediakan regulasi atau kebijakan tapi juga memastikan prospek masyrakat terhadap regulasi dan kebijakan. 
Sebut saja kemiskinan anggaran tiap tahun di gelontorkan oleh pemda tapi tidak bisa menurunkan kemiskinan secara signifikan. Masalahnya menurut saya terletak pada regulasi atau kebijakan bukan menyentuh emosi publik. Anggaran habis kemiskinan masih menjadi-jadi. Jika Gedung itu bocor langkah yang harus dilakukan menutup lokus bocornya, bukan malah melap lantainya. Disni fakta psikologi sosial bisa menjadi rujukan. Sebagai bahan atau metodologi terhadap problem daerah. Kemiskinan hanya sebagai sampel saja, peran psikologi sosial dalam upaya pembangunan daerah. Dan saya kira relevan dengan sektor pembangunan daerah lainnya. 

Bangun dulu jiwanya, baru bangun badannya. Sekiranya ini relevan dengan kompleksitas penghambat pembangunan daerah. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.