Pandemi Covid, Judi, dan ‘Bos’ di Pilkada
Junaidin |
Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satu dari 270 Daerah di Nusantara yang melaksanakan hajat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2020. Perhelatan hajat demokrasi lima tahunan yang dihelat 9 Desember tahun lalu itu, sangat nampak perbedaannya dengan proses Pilkada yang dilakukan sebelum-sebelumnya. Tentu hal tersebut dilatari kondisi Dunia, termasuk Indonesia yang tengah diwabahi bencana nonalam Corona Virus Disease 2019 atau biasa disebut Covid-19. Sungguh bencana ini mempengaruhi pola hidup, termasuk cara dan system penyelenggaraan Pilkada yang didesain sesuai dengan standar protokol Covid-19.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Pilkada di Bumi bersemboyan Maja Labo Dahu (Malu dan Takut) tahun lalu, Komisi Pemilihan Umum setempat menetapkan tiga Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati yakni Pasangan Hj. Indah Dhamayanti Putri-Drs.H.Dahlan M.Noer yang diusul Partai Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP dan PKB dan H.Syafruddin HM.Nur-Ady Mahyudi yang diusung PAN dan Nasdem serta pasangan dr H.Irfan-H.Herman Alfa Edison dengan Partai Pengusung PDI-P, Hanura dan PKS. Pesta tersebut, berakhir dengan dilantik kembalinya Hj Indah Dhamayanti Putri, SE dan Drs. Dahlan HM.Noer (calon petahana) sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bima Periode 2021-2024.
Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020, boleh dibilang sebagai Pilkada yang cukup ‘merepotkan’ bagi penyelenggara termasuk para kontestan. Pasalnya, regulasi hajatannya dibuat dengan serba terbatas tentu disesuaikan dengan kondisi Pandemi Covid di Indonesia yang saat itu kian hari makin meningkat kasusnya. Menghindari terjadinya kerumunan massa dan lahirnya klaster Pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU)-pun merumuskan Pasal yang meniadakan Kampanye Rapat Umum, termasuk membatasi berbagai kegiatan kampanye lainnya yang diperkirakan berpotensi terjadinya kerumunan massa. Apakah regulasi tekhnis penyelenggaraan yang dirumuskan KPU tersebut dapat meredam Pelanggaran dalam Pilkada? Jawabnya tentu TIDAK.
Dalam catatan perjalanan Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bima, tercatat 18 temuan dugaan pelanggaran Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 (Perubahan KPU 13 tahun 2020). Pengawas Pemilu setempat, bayar kontan temuannya tersebut dengan menerbitkan rekomendasi kepada masing-masing tiga Pasangan Calon yang berkompetisi, lantaran mengumpulkan massa melebihi ketentuan. Bahkan, 4 (empat) rekomendasi diantaranya, berupa pemberhentian sementara pelaksanaan kampanye. Sayangnya, eksekusi pelanggaran Protocol Covid oleh Bawaslu, tak menimbulkan efek jera. Peristiwa serupa kerap muncul ketika Kampanye Tatap Muka dan Rapat Terbatas berlangsung di berbagai kecamatan. Bahkan, beberapa kali diantaranya berujung pada perkelahian pendukung Pasangan Calon.
Selain Protocol Covid, jenis pelanggaran lainnya juga mewarnai perhelatan pesta demokrasi di Kabupaten Bima. Berdasarkan data Bawaslu Kabupaten Bima, secara umum laporan yang diterima sejumlah 14 (empat belas) kasus, namun yang teregistrasi hanya 12 (dua belas) kasus. Sedangkan Temuan berdasarkan hasil pengawasan sebanyak 33 (tiga puluh tiga) kasus. Diantara persoalan tersebut, pelanggaran Netralitas Aparartur Sipil Negara (ASN) dan Kepala Desa, mendominasi. Bahkan, pada tahapan Kampanye berlangsung, terdapat 2 (dua) kepala desa yang divonis penjara lantaran terlibat secara langsung dalam politik praktis. Dua oknum Kades tersebut yakni, Rudi Hartono, Kepala Desa Pesa Kecamatan Wawo dan Abdul Gani, Kepala Desa Mbawa Kecamatan Donggo. Sementara Rekomendasi yang dilayangkan Bawaslu ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait Netralitas ASN, sebanyak 25 kasus yang semuanya telah ditindaklanjuti baik oleh KASN maupun oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Kabupaten Bima.
Dinamika berbeda yang nampak pada Pilkada Kabupaten Bima di masa Pandemi Covid, hebohnya para ‘Bos’ di lingkaran Pasangan Calon. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara Pemilihan, khususnya Pengawas Pemilu. Hadirnya para Pengusaha yang identik dengan sebutan Bos ini, melahirkan berbagai spekulasi terutama menyoal politik uang dan judi alias botoh. Meski secara administrative Bawaslu Kabupaten Bima hanya pernah menangani 1 (satu) kasus dugaan awal Pelanggaran Politik Uang, bukan berarti isu praktik haram dalam pesta demokrasi ini tidak terjadi selama proses Pilkada berjalan. Berbagai cara, dilakukan para Bos untuk menyalami warga dengan uang. Modusnya, seperti meminjamkan uang, memberikan bantuan kepada warga lanjut usia, anak-anak dan warga yang sakit serta cara lain untuk menyiasati aturan. Hebatnya lagi, saat memberikan uang atau sesuatu, para Bos ini tak melampirkan kalimat atau benda apapun yang terkait dengan Pasangan Calon dan agenda Pilkada.
Parahnya lagi, sempat terendus kabar bahwa beberapa Bos yang berada dalam lingkaran Pasangan Calon, diduga memberikan uang secara cuma-cuma kepada setiap kepala keluarga sebagai modal awal untuk judi, dengan catatan kepala keluarga penerima uang wajib memasang pasangan calon yang ditunjuk si Bos. Bawaslu Kabupaten Bima dan tim Sentra Gakumdu tidak sekadar mendengar begitu saja isu tersebut. Langkah nyata yang ditempuh yakni melakukan investigasi dan penelusuran. Meski dilakukan berbagai siasat dan strategi untuk mendapatkan bukti dan informasi secara mendalam, hasilnya masih tetap nihil. Masih banyak warga yang bersifat tertutup terhadap persoalan pembagian uang dan judi dalam Pilkada. Entah dengan formulasi apa untuk menangkal penyakit demokrasi ini. Wallahualam Bissawab.
*Penulis adalah Kordinator Divisi SDM dan Organisasi Bawaslu Kabupaten Bima.
Tidak ada komentar