Masa Depan Hukum di NTB Pasca Penghentian Kasus Pembunuhan Begal - Kabar Bima - Portal Berita Bima Terbaru

Header Ads

Masa Depan Hukum di NTB Pasca Penghentian Kasus Pembunuhan Begal

• LANDASAN PENERAPAN DISKRESI

Penyidik kepolisian memiliki kewenangan dalam penerapan diskresi sebagaimana diatur dalam KUHAP ketentuan Pasal 5 ayat (1) poin 4 dan ketentuan Pasal 7 huruf (J) dimana penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab”  kewenangan yang sama juga diatur dalam PERKAP Nomor 6 Tahun 2019, ketentuan Pasal 30 Ayat (2) dimana “Penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk memenuhi kepastian huku, rasa keadilan dan kemanfaatan” dengan demikian secara normatif kepolisian melalui kewenagan diskresi dimungkinkan melakukan penghentian penyidikan dengan menerapkan Surat penghentian penyidikan (SP3)  sebagaimana diataur pada ketentuan Pasal 109 KUAHP ayat (2), dengan syarat dan ketentuan penghentian penyidikan bisa dimungkinkan karena tiga hal. (1). Karena tidak terdapat cukup bukti (2). Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. (3). Dihentikan demi hukum. 

Tim Hukum PBH LPW NTB, Safran.

Kepolisia dengan kewenangan diskresi yang dimiliki diatas bukan berarti kepolisian bisa menerapkan kewenangan itu secara bebas dan melampui batas norma, penerapan diskresi menurut Hari sasangka dan lily Rosita melalui penerjemahan ketentuan Pasal 5 ayat (1) poin 4 dan Pasal 7 Huru (j) KUHAP harus memenuhi lima syarat. Tidak bertentangan dengan aturan hukum. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. Menghormati hak azasi manusia.


• PEMAKNAAN DISKRESI YANG MELAMPUI BATAS 

Dengan mencemati terjemahan uraian diatas penghentian penyidikan (SP3) yang dilakukan oleh POLDA NTB terhadap kasus pembunuhan dua orang yang diduga merupakan begal oleh Amaq Sinta  (AS), bertentangan dengan syarat dan ketentuan serta kewenangan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab, selain itu mengabaikan ketentuan PERKAP 6 Tahun 2019, ketentuan Pasal 30 ayat (3) “penghentian penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.  Pemaknaan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab dan dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan ialah penerbitan Surat penghentian Penyidikan (SP3) tidak boleh mendiskreditkan ketentuan norma yang ada dalam  Pasal 351 ayat (3) dan ketentaun Pasal 338 KUHP yang mengatur tentang penganianyaan yang menyebabkan kematian dan pembunuhan biasa yang mungkin dilakukan oleh Amaq Sinta (AS) dalam kasus itu.

Penyidik kepolisian secara normatif tidak memiliki kewenangan mengadili dan memutuskan apakah suatu perbuatan pidana itu dibenarkan oleh hukum dalam prespektif overmacht atau noodwer dan noodwer exes, penyidik kepolisi dalam ketentuan Pasal 106 KUHAP “penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperluka. Ketentuan pasal diatas menegaskan dan memeberi batas kepada penyidik kepolisian terhadap laporan yang disampaikan oleh masyarakat apakah merupakan tindak pidana atau tidak.

Penyidik kepolisian perlu memperhatikan, memahami dan mengerti, pemaknaan keadilan dalam prespektif hukum pidana sebagaimana keadilan yang dimaksud dalan PERKAP 6 Tahun 2019, Ketentuan Pasal 30 ayat (2). Keadilan yang ingin dicapai oleh hukum pidana ialah Keadilan Korektif adalah merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari perbuatan, tampa memanda siapa pelakunya, prinsipnya adalah hukuman harus memperbaiki kejahatan. ( Aristoles  dalam teori sosial etis).  

Dalam sistem peradilan pidana Indonesia masih menganut teroi pemindaan absolut dan teori relatis dalam pandangan kant dan Hegel/Herbart “ ketercelaan yang terjadi kejahatan yang dilakukan, dapat kita temukan pembenaran bagi pidana. Pandang demikian menurut jan Ramellink  berkesesuaian dengan kesadaran masyarakt yamh umumnya  cenderung sepakat  bahwa siapa mengakibatkan penderitaan, maka iapun harus menderita atau setiap orang layak mengalami sendiri apa yang iya akibatkan. Kan memandang tntutan prnjstuhsn pidana demikian sebaga bersumber pada nalar praktis dengan kata lain sebagai tuntutan etis. 

Hegel memandang kejahatan merupakan pengikaran pada realitas, yang niscaya diselesaikan melalui pidana, sedangkan pandangan hukum teori relative mengemukakan bahwa pidana dijatuhkan kepadap pelaku tindak pidana bukan sebagai pembalasan. Pidana di jatuhkan sebagai sarana untuk pembinaan bagi pelaku tindak pidana tersebut. Dengan demikian untuk mencegah terjadinya suatu kejehatan yang sama. Oreatasi dari kedua teori diatas ialah pada penghukuman terjadap pelaku tindak pidana, perbedaannya teori absolute keras sedangkan teori realatif lebih halus, namun keduanya sama berorientasi pada penghukuman sebagai instrumen  keadilan bagi pihak korban yang mengalami penderitaan atas tindak pidana yang dilakukan oleh oranglain. Dalam tataran keadilan penerbitan surat penghentian penyidikan (SP3) oleh POLDA NTB  terhadap hasus Amaq Sinta (AS) tidak terpenuhi karena keadilan yang diargumentasikan mengabaikan keadilan pada pihak korban yang dalam hukum pidana dijadikan tujuan utama dalam proses hukum.

Penerapan kewenagan diskresi oleh POLDA NTB dengan diterbitkaan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus pembunuhan begal’  dengan mendasari pada kemanfaatan hukum yang dipelopori oleh “Jeremy Bentham, dengan teori hukum penyokong kebahagian” tidak tepat dan terkesan mendeskriditkan teori hukum. Pada hal yang dimaksud dalam teori kemanfatan hukum adalah penegakan hukum dalam pelaksanaannya seyogyang mempertimbangkan akibat dari perbuatan pidana yang ditimbukan oleh pelaku tindak pidana, sebagai contoh kasus seorang nene yang maling randu/sisah padi di jawa dan seorang anak yang maling sandal jepit di ancam pidana sebagaima ketentuan Pasal 362 KUHP’ pada kasus ini lah penerapan tujuan kemanfaatan hukum itu dipentaskan dan didayagunakan untuk kepentingan yang lebih besar. sedangkan pada kasus pembunuhan dua orang yang diduga begal tidak bisa berlindung dari tujuan kemaafatan sebagai argumentasi pendukung penerbitan SP3. Penyidik kepolisian POLDA NTB keliru dalam memaknai makna keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum.

Penerapan diskresi kepolisian berbasis hukum progresif, penyidik kepolisian POLDA NTB perlu memahami teori progresif yang digagas oleh satjipto Raharjo secara utuh. Gagasan itu lahir dari kegalaunya dengan penyelenggaraan hukum Indonesia di massa transisi, dimana hukum dijalankan layaknya dalam kondisi norma, akibatnya hukum terdorong ke luar jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Menurutnya hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi itu maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia bukan manusia yang melayani hukum. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro keadilan dan hukum yang pro rakyat. 

Dalam gagasan hukum progresif para pelaku hukum diharuskan mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam proses penegak hukum. Para pelaku hukum dalam prespekti hukum progresif  dimungkinkan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tampa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law)I sebagai upaya mencapai keadilan hukum hukum. Para pelaku hukum yang dimaksud dalam hukum progresif mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan’ lembaga-lembaga penjaga marwah hukum ini miliki tugas masing-masih sebagaimana yang diatur dalam uu dan aturan turunan instansi masing-masing. Yang ingin disampaikan dalam uraian hukum progresif ini adalah penyidik kepolisian tidak memiliki kewenangan melakukan pemaknaan hukum secara kreatif dalam upaya memberikan keadilan hukum pada suatu peristiwa pidana, pemakaan secara kreatif oleh penyidik kepolisian terhadap kasus pembunuhan dua orang yang di duga begal itu mendiskreditkan posisi kejaksaan sebagai penuntut umum dan pengadilan sebagai pemutus. Dalam sistem peradilan pidana hanya hakim yang diberikan kewenangan untuk menetapkan dan memutuskan seorang melaukan tindak pidana tau tidak berdasarkan kayakina dan maksimum dua alat bukti. (teori Negatif Wettelijk bewijstheorie

Penyidik kepolisian POLDA NTB dengan kewenangan diskresi, selain keliru dalam pemaknaan teori kedailan dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum juga melakukan lompatan norma yang sangat jauh ditandai dengan meneritkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), yang menabarkan berapan ketentua hukum sekaligus diataranya, ketentuan Pasal 109 KUAHP (2). Dihentikan demi hukum. Pemaknaan dihentikan demi hukum dalam ketentuan pasal diatas bukan dalam konteks overmacht Pasal 48 dan noodwer atau noodwer exes Pasal 49 ayat 1 dan 2” melainkan merujuk pada ketentuan Pasal 77 KUHP terdakwa meningeal dunia, Pasal 76 Niies in idem,Pasal 78 kedaluwarsa/ verjaring  dan pencabutan perkaran yang sifatmya delik aduan Pasal 75 dan 284 ayat 4 KUHP. Selain itu mengabaikan syarat-syarat  penerapan diskresi dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) poin 4 dan ketentuan Pasal 7 huruf (J) serta mengabaikan  PERKAP 6 Tahun 2019, ketentuan Pasal 30 ayat (3). Dengan demikian Surat Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Penyidik kepolisian POLDA NTB sejak lahir memiliki kecacatan bawaan.

• MASA DEPAN HUKUM

Pengambil alihan kewenangan pengadilan oleh kepolisian dalam kasus pembunuhan 2 oranag yang di duga begal oleh amaq sinta dalam hal menetapkan dan memutuskan seseorang melakukan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum materiil, akan berdampak pada ketidak percaya masyarakat kepada institusi kepolisian dan hukum sebagai penjamin kepastian dan keadilan hukum. Ketidak percaya terhadap penegakkan hukum dan hukum pada momentum tertentu akan memicu masyarkan melakukan main hakim sendiri akhirnya pengadilan jalanan (street jutice) menjadi yang plaling dominan dalam penyelesaian masalah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada tataram ini hukum tidak lebih dari keratas kosong yang tidak bernilai lagi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.