Tentang Peristiwa 1972, Dari Perspektif Anak Muda - Kabar Bima - Portal Berita Bima Terbaru

Header Ads

Tentang Peristiwa 1972, Dari Perspektif Anak Muda


Oleh : Satria Madisa


Peristiwa besar. Iya, katanya ribuan masyarakat Donggo tumpah ruah. Memperjuangkan persamaan kedudukan didepan hukum dan politik. Bukan hanya terjadi di Bima era itu, diseluruh pelosok negeri (Kecuali Jawa) merasakan krisis multidemensi. Tapi beruntunglah kita, pendahulu mampu melawan, walau kita harus membukan dialog secara akademis situasi-situasi politis saat itu!.

Peristiwa 72 semacam kalkulasi kemarahan rakyat Donggo, terkombinasi gerakan elit. Elit dalam hal ini, dari pihak istana maupun pihak generasi intelektual. Sebagai konseptor gerakan. Pembakaran Gereja di Mbawa, penolakan pemilu, dan penolakan dominasi golkar di Kab. Bima, situasi-situasi politik pra peristiwa 1972.

Peristiwa sebagai medium atraksi orang-orang Donggo memperlihatkan kelihaian kebhatinan. Hanya segelintir saja yang membangun diskursus perjuangan modrn dengan narasi dan intelektualisme. Tentu bukti peristiwa bisa dilacak untuk membuktikan argumentasi diatas. 
Sebut saja "Petisi 10" sebagai konsesus membangun gerakan intelektual. Di tiga buku yang mengupas peristiwa itu, tidak diterangkan. Minimal memaparkan kepada publik "siapakah aktor intelektual dari peristiwa tersebut" dan apakah implikasi politis dari gerakan kultural tersebut?.

Dua pertanyaan itu saya sudah sampaikan dalam tulisan "Bedah Buku 1972".
Tentu engan harapan narasi anak muda dalam membaca sejarah bisa utuh.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para penulis Buku 1972, bahwa narasi 1972 itu tidak mencerdaskan generasi. Karena prnyajian peristiwa dan keterlibatan aktor dan turunanya tidak berdasarkan semangat keadilan dan tidak menghadirkan keutuhan narasi untuk pelanjut generasinya. Yang nampak malah memperpanjang daftar pengklaiman dan pengkultusan. Dan yang lebih ekstrem proses pertanggungjawaban narasi, tidak pernah dilakukan. (Luruskan jika saya salah). Malahan kecenderungan anak muda kekinian "melanggengkan tradisi pengkultusan pengklaiman" dari cara memahami peristiwa monumental itu.

Peristiwa tersebut, karena gerakan politis. Maka istana punya hutang sejarah yang seharusnya dijawab secara politis. Karena Diskursus politik istana dalam tataran formal, sudah mati seiring hidupnya demokrasi, hutang sejarah harus dibayar oleh Pemda, yang memang dari trah istana. 

Faktual. Bahwa implikasi dari gerakan tersebut "tokoh sentral" dianiaya, dan dipenjara. Karena,  landasan politis iyalah perubahan kekuasaan/perebutan. Itulah saya kira motivasi hadirnya platform "LENGSERKAN SUHARMAJID, ANGKAT PUTRA KAHIR". Simbiosis mutualisme (Hubungan sama-menguntungkan) dari puncak perjuangan para tokoh kita mendapatkan kekuasaan. Atas nama buah perjuangan. Lumrah dan konstitusional. Begitupun imbas lengsernya SUHARMAJID. Mereka juga mendapatkan kekuasaan. 

Bagaimana kalau kita merefleksikan secara politis dari gerakan 72?. Saya kira itu lumrah. Namanya juga politik.  
Bagaimana realitasnya, padahal tidak direfleksikan secara politik, justru jawaban yang nampak adalah perhitungan politik. 

Penting memahami sejarah. Dunia tahu itu. Walaupun kita seharusnya tidak berhenti menafsirkan sejarah!.
Penulis termasuk anak muda yang haus akan sejarah. Sejarah dalam pengertian yang benar. Bahkan sebelum menginjakan kaki di level mahasiswa, saya sudah membaca buku "MUTIARA DONGGO". Optimisme dalam mencoba membaca sejarah berlanjut, mungkin untuk anak muda seusia saya wajar. Bahkan beragam narasi tentangnya telah hadir diruang publik, diantaranya Refleksi Sejarah 72 Untuk Anak Muda, Semangat 72 Untuk Pileg 2019, bahkan sampai pada Bedah Buku 72.

Mungkin cara pikir saya akan berbeda (transformasi) begitupun pendekatan. Mungkin saya karena masih mahasiswa paradigmanya liar, dan setelah sarjana atau masuk dalam lingkaran politik 72 terkungkung kepentingan. Sebelum sampai pada tahap itu, ijinkan saya menyatakanbahwa, 1972 lebih banyak membuka panggung politis sekaligus memonopoli panggung kultural dengan label dan populismenya. Daripada membuka ruang generasi terhadap objektivitas peristiwa. Dampak yang berpotensi hadir iyalah dinasti politik kultural. Apakah selama puluhan tahun, hanya itu diskursus kita?.
Padahal kita memiliki Doktor Muda, Penulis dan Dosen Handal, dan banyak lagi. Ataukah kita lebih senang membuka monopoli panggung kultural, secara terus menerus, sementara panggung Intelektualitas tidak. berbahaya,  generasi milenial berpotensi menjadi penumpang gelap. Semoga saja tidak!.

Artinya secara diskursus, kita sudah menghakimi masa depan. Mendewakan masa lalu dengan monopoli dan pertarungan kepentingan didalamnya.

Redevinisi Dari Refleksi

Ada baiknya generasi muda, lebih khusus generasi milenial untuk kembali merefleksi peristiwa 72 dengan layar besar. Tentang kebutuhan kita terhadap masa depan. Pertanyaan yang sama, Sampai sejauh mana Diskursus 72 sebagai narasi reflektif pembangunan Donggo di era kekinian?. Apalagi ditengah kemelut kita dalam memahami peristiwa tersebut.

Monopoli panggung "diskursus pengklaiman" berpotensi "membunuh" nalar progres generasi muda. Bukti paling rill saya kira "Pengorbitan generasi muda dalam panggung struktural" yang sangat minim. Jika ada generasi muda kita sekarang, yang tampil dipanggung publik hari-hari ini, itu bukan karna kaderisasi 1972 tapi karena memilih melawan.

Refleksi 72 seharusnya digeser pada gambar besar. Jika gerakan 72 lebih didominasi gerakan kultural dengan sedikit intervensi intelektual. Maka diskursus alternatif kita kedepan, harus lebih banyak di isi intelektualisme. Potensinya sangat besar. Tapi psikologi kultur kita semacam membangun resistensi penolakan intelektualisme dari Tokoh Tua. Disokong oleh anak muda.

Kita memiliki Banyak tokoh akademis, dari latarbelakang keilmuan yang jelas. Penulis buku level nasional, pegiat literasi yang melimpah, bahkan aktivis. Sebagai contoh Akhsanul Arifudin di usia yang sangat muda, mampu melahirkan gagasan yang progres lewat dua buku yang ditulisnya. Dan keseluruhan potensi gemilang kita, tentu tidak perlu saya sebut semuanya. Semacam inilah saya kira diskursus intelektual kita dimasa depan. Tidak boleh tidak, Donggo harus dibangun lewat pintu peradaban.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.